13 Desember 2008

KECERDASAN SPIRITUAL

Dengan Kecerdasan Spiritual mencari Makna Hidup.

Kali ini aku ingin mencoba menulis tentang “kekinian”, dimana saat ini mungkin diantara kita sedang mengalami, menjalani, menikmati, atau pun menghadapi berbagai bersoalan tentang “hidup” dalam kehidupan.

Kesempatan kali marilah kita sekedar “ngudhoroso” (instropeksi diri).

Kita kadang (sering) mendengar istilah ”krisis ekonomi”, ”krisis kepercayaan”, ”krisis budaya”, ”krisis global”, ”krisis lingkungan hidup”, dan ”krisis-krisis” yang lainnya.

Menurut kamus Bahasa Indonesia, krisis artinya keadaan yang menderita, keadaan yang genting, keadaan yang suram, atau suatu keadaan yang harus segera diambil keputusan atas suatu hal. Sehingga, jika kata “krisis” diikuti dengan ”kata sifat” maka akan bermakna suatu”kondisi” yang dinilai sangat tidak diharapkan.

Pada pemaknaan “krisis-krisis” diatas pada dasarnya juga sudah masuk pada pola pikir spikologis yang membentuk makna “krisis moral”.

Artinya; “krisis ekonomi” dapat diartikan krisis bagi moral pelaku ekonomi yang menciptakan keadaan ekonomi yang tidak nyaman, “krisis kepercayaan” dapat diartikan krisis bagi moral orang yang dipercaya dan mempercayakan, “krisis global” dapat diartikan krisis bagi moral semua “komunitas obyek beserta subyeknya” yang tidak nyambung.

Ada beberapa pendapat para ahli yang salah satu adalah E.F.Schumacher (pakar ekonomi pembangunan dunia) yang menulis buku : A Guide for the Perplexed, (1981). Kata Schumacher, belakangan ini orang baru sadar bahwa segala krisis – baik krisis ekonomi, bahan bakar, makanan, lingkungan, maupun krisis kesehatan – justru berangkat dari krisis spiritual dan krisis pengenalan diri kita terhadap Yang Absolut, Tuhan.

Ada juga hal yang menarik, yang diungkapkan oleh Stephen R. Covery yaitu seorang eksekutif yang lebih dari 25 tahun bekerja bersama banyak orang dengan latar belakang bisnis, universitas, serta banyak keluarga, tetapi mendapati diri mereka bergulat dengan kelaparan batin, yaitu kebutuhan mendalam akan keselarasan pribadi dan efektivitas, serta hubungan yang sehat dengan orang lain.

Lebih lanjut Covey menceritakan pengalamannya secara memikat dan mengejutkan:

“ Saya telah menetapkan dan mencapai citi-cita karier saya dan memperoleh keberhasilan profesional yang luar biasa. Akan tetapi, hal ini mengorbankan kehidupan pribadi dan keluarga saya. Saya bahkan tidak yakin, apakah saya mengenal diri saya sendiri dan apa yang sebenarnya peting bagi saya. Saya harus bertanya kepada diri sendiri, apakah keberhasilan ini sepadan?”

“Ada begitu banyak yang harus dikerjakan. Dan tidak pernah cukup waktu. Saya merasa tertekan dan diburu-buru sepanjang hari, setiap hari, tujuh hari seminggu. Saya telah mengikuti seminar-seminar tentang manajemen waktu dan saya telah mencoba setengah lusin sistem perencanaan yang berlainan. Memang saya sedikit terbantu, tetapi saya masih tidak merasa menjalani kehidupan yang bahagia, produktif, dan damai seperti yang saya inginkan”

Dari sekelumit ungkapan tokoh eksekutif yang menjadi panutan eksekutif lainnya ini masih “ngudhoroso” dirinya sendiri sedang mencari apa? Kelihatan tragis memang, tapi ini kenyataan dialami oleh setiap orang yang merasa sangat dibutuhkan. Sehingga suatu penunjukan satu kecenderungan besar di zaman ini: manusia yang tidak bisa tahu lagi bagaimana seharusnya mengenali diri sendiri dan menjalani kehidupan di dunia ini secara benar dan bermakna.

“Kehendak hidup bermakna” ini sekarang menjadi visi hidup alternatif di tengah meluasnya problem-problem spiritual yang menjangkiti manusia modern sekarang ini. Tanpa hidup bermakna, hidup kita akan mengalami kegelisahan spiritual, problem spiritual, dan bahkan krisis spiritual, sebagaimana yang dialami Covey diatas.

Maka kita semua bisa terkena hal serupa: krisis spiritual yang ditandai dengan merasa hidup tak bermakna. Jika lebih parah apa yang kita alami maka kita akan terjangkit penyakit spritual.

Ciri-ciri kita terjangkit penyakit spiritual diantaranya adalah; kita mengalami penyakit alienasi (keterasingan diri), baik dari diri sendiri, lingkungan sosial, maupun teralienasi dari Tuhannya (menurut Carl Gustav Jung).

Pada beberapa literatur yang lain muncul istilah-istilah yang menggambarkan problem psikologis-eksistensial-spiritual seperti keterasingan spiritual, krisis spiritual, patologi spiritual, dan penyakit spiritual, yang kesemuanya itu pada intinya menunjukkan terkoyaknya ruang spiritual dalam diri kita.

Kesimpulan:

Kita harus dapat ”memaknai” perjalanan hidup kita, menjalankan kehidupan dengan penuh kesadaran akan makna kita ”ada untuk apa” dan bagaimana kita ”berbuat” penuh makna.

Hanya satu perjalanan spiritual pemaknaannya yaitu menyadari bahwa Tuhan menciptakan manusia harus ”bermakna” untuk-Nya. Sehingga segara krisis yang kita alami menjadi peringatan dari Tuhan agar kita tak melupakan-Nya.

Sekian, terima kasih.

Ganjar Pwdd.

Sumber buku: ”Rahasia sukses hidup bahagia dengan Kecerdasan Spiritual”, Sukadi, Gramedia, 2004

Tidak ada komentar: