18 Maret 2009

Persembahkan Symphony Terindah untuk Almamater

Untuk pertama kali dalam hidupnya, seorang tua pergi dari dusunnya yang terpencil ke sebuah kota besar yang modern untuk menjenguk anaknya.


Ketika berjalan-jalan seputar kota bersama anaknya, ia mendengar suara aneh yang baru pertama kali didengarnya dan sangat menyakitkan telinga. Ingin tahu, ia mengikuti sumber suara tersebut dan menemukan sebuah rumah, yang dari luar jendelanya yang terbuka ia melihat seorang anak sedang belajar memainkan suatu alat musik gesek dengan penuh semangat.

Ngiiik ! Ngook ! Ngiik ! Ngook ! ...mengerikan sekali suara yang dikeluarkan alat itu - yang dari anaknya diketahui bernama 'biola'. Tak pernah ia mendengar suara sejelek itu. Segera ia mengajak anaknya bergegas pergi karena ia tak mau mendengar lebih lama lagi.



Hari berikutnya, ketika ia berjalan-jalan di bagian lain kota tersebut, ia mendengar suara indah mendayu-dayu yang membelai telinga tuanya. Tak pernah ia mendengar melodi sedemikian indahnya di dusunnya maka ia segera mencari asal suara tersebut. Ia tercengang, ketika mengetahui bahwa melodi indah tersebut berasal dari seorang maestro, yang memainkan biola sedemikian ahli dan penuh penghayatan.

Baru ia sadari, bahwa sebagus apapun biolanya dan setinggi apapun penghayatan pemainnya, semua tergantung seberapa tinggi proses pencapaiannya dalam belajar memainkan alat tsb. Di awal, suara yang keluar akan sumbang, tetapi semakin tinggi penguasaannya, semakin indah bunyinya.

Esok harinya, ia lagi-lagi mendengar suara yang menurutnya paling indah dari yang pernah didengar sebelumnya, bahkan lebih indah dari permainan sang maestro biola. Segera ia mencari asal suara itu. Suara itu datang dari orkestra besar yang para pemainnya bukan hanya memiliki pencapaian luar biasa di alat musiknya masing-masing, tetapi telah belajar lebih jauh lagi sehingga bisa menciptakan harmoni suara yang menurut si orang tua, melebihi indahnya suara aliran air pegunungan, melebihi indahnya suara angin di musim gugur di sebuah hutan, melebihi suara burung-burung pegunungan yang bernyanyi setelah hujan lebat. Bahkan melebihi keindahan keheningan pegunungan yang damai di musim salju pada malam hari.

Si Orang tua hanyut dalam alunan symphony yang luar biasa indahnya, dan sebersit pikiran muncul di kepalanya, "Betapa indahnya kehidupan bila semua berpadu dalam sebuah symphony".

Rekan-rekan alumni, saya tidak bermaksud berfilosofi, kisah diatas saya gunakan untuk mengajak seluruh alumni memadukan semua perbedaan, baik suku, agama, ras, golongan, angkatan, profesi, maupun pandangan politik yang ada pada kita untuk menciptakan sebuah harmoni dan symphony yang indah yang bisa kita persembahkan kepada almamater tercinta: FARMING SEMARANG. Sehingga tidak ada satupun yang merasa diri paling berjasa, atau kelompok tertentu yang menonjolkan diri. Apa jadinya jika dalam sebuah orchestra didominasi oleh suara biola, atau suara drum yang menonjol, tentu orchestra tersebut tidak akan enak didengar.

Kita adalah maestro-maestro yang siap memadukan seluruh perbedaan yang ada kedalam sebuah orchestra untuk mempersembahkah symphony terindah bagi almamater tercinta: FARMING SEMARANG.

Salam caping-caping kuning
JN’84

Tidak ada komentar: