Salam jumpa,...... semoga tak bosan dengan kehadiranku kali ini.....
Terimalah salam hormat saya kepada semua pembaca umumnya Alumni Farming Semarang khususnya.
Kesempatan ini aku ingin membagi cerita ( maaf.....mungkin belum mampu membagi duit.....). Sebelumnya aku ucapkan terima kasih kepada kang Didik Kudus, karena telah bersedia menerima telponku, dan maaf mungkin terkejut, kok dapat nomer telponnya. Inilah berkat di dunia maya pula aku bisa kontak sama sahabat handai tolan yang berpisah oleh waktu selama 20 tahun lamanya.
Sekarang..... aku merasa kembali muda dan dengah mudah khayalanku berontak untuk kembali ke suatu masa yang indah, yang lucu, yang "gila", yang sedih. Pokoknya aku sempat bermimpi dimasa 80-an. Dan anehnya aku kembali suka lagu - lagu/ musik di era 80-an seperti di suatu acara TV (acara Zone 80-an masih ada) yang kemudian menjadi acara favoritku (ini bukan iklan lo....)
Yang jelas, dengan tersambungnya benang komunikasi ini membuat tanganku selalu gatal untuk menulis yang merupakan bakat terpendamku. Mungkin, bagi temen-temen seangkatanku (84) sudah maklum kalo aku paling getol jadi juru tulis, juru ngomong, dan tukang "nggedebus" he....he....ngaku nich ye....tapi itu dulu lo.....
Aku ada CERngatPEN (cerita sangat pendek) nich....
Disuatu saat, ketika aku ada acara "dinas" (cailaaa ...gaya), aku akan melewati kota Ungaran, Maka aku segera ingat bahwa aku pernah menjadi penghuni "penjara" (baca : tempat praktek) Suwakul. Setelah acara "dinas" selesai. aku sengaja tidak langsung pulang. Aku mencoba ingin singgah di dunia "fantasi" Suwakul. Dan kuingat disana ada tokoh yang aku hormati yaitu Bapak AJ. Sutopo, Mas Wardi, Mas Selamet, Bapak Kasiha. Ndak tau sekarang beliau-beliau dimana ? tapi kabar terakhir Mas Wardi sekarang di Kampus Bendan ( benar ndak ya...?)
Aku dari arah selatan (Solo) menuju utara (Semarang) dan didepan RSUD Ungaran aku membelokan kekiri sehingga masuk jalan lingkar (tidak lewat kota). Aku mulai gelisah saat melewati alun-alun, dan ada terminal kecil sebelum membelok kekanan kearah Semarang (untuk belok kekiri ke Gunungpati). Dari kejauhan sudah terlihat sebuah bukit kecil bila dibanding Gunung Ungaran dibelakangku, bukit itu bernama "Gunung Suwakul" aku ndak tau kenapa dinamakan Suwakul, mungkin duku ada "wakul" (tempat nasi) tumpah disana. Semakin dekat dengan Suwakul semakin kencang detak jantungku. Muncul rencana dibenakku, aku akan mampir dan akan menengok "tanda jejak" yang pernah aku buat dulu.
Lamunanku hancur beterbangan setelah bunyi klakson keras dari sebuar bus dibelakangku, aku baru saja melamun dan menjalankan motorku terlalu ketengah. Mungkin sopir bus "misuh"......jangkrik... naik motor kok ngalamun sampai ditengah jalan, dasar cah ndeso. Segera aku menepi dan mengurangi laju motor bututku dan kujalankan pelan dan pelan sekali.
Aku kembali gelisah, karena sebagian jalan sudah tak kukenali lagi....aku "pangling". Aku kemudian berhenti disuatu tempat yang kukira dulu jalan masuk ke komplek Suwakul, tapi akutercekat dan terpana seketika, karena benar-benar aku sudah tak mengenali tempat itu lagi. Dulu tempat itu begitu rimbun dengan pohon klengkeng, pohon ace/ rambutan, pohon pisang, pohon randu, yang dibawahnya penuh kenangan (hayooo siapa yang dibawah pohon randu itu......) dan yang jelas ada pohon pepaya jingga yang uahnya besar-besar....duh dimana ya sekarang. Tiba-tiba aku rindu akan suasana Suwakul semasa 20 tahu yang lalu, disana ada asap tipis mengeul yang membawa aroma khas serta suara binatang yang khas pula (nama binatang itu aku ndak tau....)
Aku tak menyalahkan perubahab, bahkan kadang-kadang yang ekstrinpun aku mendukung. Tapi kali ini, ada sebagian hatiku yang terenggut dengan paksa. Begitu masgul hatiku,.....ndak tahu kenapa, yang jelas ada sesuatu yang hilang. Dulu aku dengan banggga menenteng"teodolit pinjaman" untuk praktek TGT, mengukur elevasi, menentukan "azimut", menggambar dengan penerangan petromax di bumi Suwakul. Dulu aku begitu bangga dan gembira bisa praktek bertanam (menanam tomat dan kacang panjang), seumur-umur baru itulah aku bisa memetik hasil pertanian yang aku cangkul, aku pupuk, dan aku rawat sendiri, aku begitu antusias membuat laporan dan menganalisa usahataninya. Tapi sekarang, aku sadar bahwa perubahan harus ada..... tinggal perubahan menuju perbaikan atau perubahan menuju kehancuran. Aku tak berani menilai apakah Suwakul terjadi kemajuan atau kemunduran. Tetapi jika aku melihat gejala sekarang ini, dimana dunia pertanian menangis keras dan berteriak - teriak; panen gagal , lahan rusah, pupuk langka, obat pertanian mahal. Karena aku sadar, aku kuliah dulu dan isa menjadi sekarang ini berkat pertanian, karena keluargaku adalah petani, ......duh nelongso hatiku.
Apakah akan ada kejadian, untuk kita semua benar-benar akan kelaparan gara-gara tak ada padi yang ditanam, tak ada jagung yang tumbuh, tak ada singkok yang dicabut. Bahkan sekedar untuk minum masispun gula harus beli dari negara tetangga.
Bahkan aku tak berani menjawan, jika anakku bertanya; " ...ayah dulu sekolah pertanian ? kok aku makan nasi dari negeri tetangga. ......?".......?"
”Monggo Mas......pinarak....ampun teng njawi....”, aku tersentak kaget dari lamunan setelah seseorang yang sudah cukup tua menyapaku dan ternyata aku telah berhenti didepan rumahnya dan ada warung kecil disampingnya.
”Nggih....pak, matur nuwun” dengan gugup aku menjawab sekenanya.
Aku menuntun motorku memasuki halaman sempit di depan warungnya.
”Kopi hangat bu.....” kataku pada seorang ibu muda di dalam warung setelah pantatku menyentuh bangku. Mungkin umurnya baru 5 tahun saat suwakul masih ramai dulu.
Pak Tua masih menatapku seakan bertanya, orang jauhkan aku ?
Sambil menunggu minuman kopi jadi dibuat, aku bertanya pada Pak Tua, ”Ini dulu Suwakul ya Pak....” sambil kupandang wajah tuanya tapi masih menyisakan ketegaran yang luar biasa disana
”Sekarang ya masih Suwakul, Pak...” sahut sekenanya.
”Bapak dari mana? Sambungnya.
Aku terdiam sebentar karena menerima segelas kopi panas yang disajikan ibu muda tadi, dan sahutnya ”Bapak pernah kesini ya .......?.”
”Ya....pernah, dan saya dari jauh, tapi dulu Suwakul ndak seperti ini” jawabku sambil memandang ke seberang jalan, dan lalu lalang kendaraan seakan tak akan putus.
Kemudian aku bercerita panjang lebar tentang kegiatanku dulu di tahun 85-an dimana Suwakul masih asri, bertanah merah segar (mungkin akan aku ceritakan dalam kisah yang lain).
Tapi kini, telah berdiri sebaris rumah megah, jalan beton semen, dan berjajar mobil didalam kompleks. Aku mengira wah......ini pasti perumahan dosen farming, he...he....pikiranku mulai usil. Tapi Pak Tua seakan tahu pikiranku dan berkata ” Ini perumahan biasa kok Pak, dan sekarang tak ada lagi kegiatan pertanian oleh anak-anak farming seperti 10-20 tahun yang lalu, sekarang ndak seperti dulu.....”
”O..ooooo,.....” sahutku.
Aku segera bangkit dan ku bayar segelas kopi manis-nya, aku pamit setelah mengucapkan terima kasih pada Pak Tua setelah memberiku pesan: ”Pak, mbok anak-anak muda sekarang diajari pertanian lagi, agar yang tua-tua ini segera diganti, gimana mau bertani baik ,la wong nyangkul saja saya sudah ndak begitu kuat dan yang muda ndak ada yang mau, trus anak cucu kita mau makan apa”.
”Nggih pak.....” jawabku agak ketus.
Aku segera melarikan motorku, kencang dan kencang sekali....aku jadi takut ke Suwakul lagi, takut kalau digugat ndak bisa ngajari bertani generasi muda sekarang...Duh piye ki......
Duh piye iki...
Dari tanah Gersang, Medio di ujung tahun 2008
Ku tulis ditengah malam setelah kutengok anak dan istriku yang tidur pulas dan tak tau kegelisahan ayah dan suaminya, besok apa bisa minum rasa manis ndak...?.......? ...
Terimalah salam hormat saya kepada semua pembaca umumnya Alumni Farming Semarang khususnya.
Kesempatan ini aku ingin membagi cerita ( maaf.....mungkin belum mampu membagi duit.....). Sebelumnya aku ucapkan terima kasih kepada kang Didik Kudus, karena telah bersedia menerima telponku, dan maaf mungkin terkejut, kok dapat nomer telponnya. Inilah berkat di dunia maya pula aku bisa kontak sama sahabat handai tolan yang berpisah oleh waktu selama 20 tahun lamanya.
Sekarang..... aku merasa kembali muda dan dengah mudah khayalanku berontak untuk kembali ke suatu masa yang indah, yang lucu, yang "gila", yang sedih. Pokoknya aku sempat bermimpi dimasa 80-an. Dan anehnya aku kembali suka lagu - lagu/ musik di era 80-an seperti di suatu acara TV (acara Zone 80-an masih ada) yang kemudian menjadi acara favoritku (ini bukan iklan lo....)
Yang jelas, dengan tersambungnya benang komunikasi ini membuat tanganku selalu gatal untuk menulis yang merupakan bakat terpendamku. Mungkin, bagi temen-temen seangkatanku (84) sudah maklum kalo aku paling getol jadi juru tulis, juru ngomong, dan tukang "nggedebus" he....he....ngaku nich ye....tapi itu dulu lo.....
Aku ada CERngatPEN (cerita sangat pendek) nich....
Disuatu saat, ketika aku ada acara "dinas" (cailaaa ...gaya), aku akan melewati kota Ungaran, Maka aku segera ingat bahwa aku pernah menjadi penghuni "penjara" (baca : tempat praktek) Suwakul. Setelah acara "dinas" selesai. aku sengaja tidak langsung pulang. Aku mencoba ingin singgah di dunia "fantasi" Suwakul. Dan kuingat disana ada tokoh yang aku hormati yaitu Bapak AJ. Sutopo, Mas Wardi, Mas Selamet, Bapak Kasiha. Ndak tau sekarang beliau-beliau dimana ? tapi kabar terakhir Mas Wardi sekarang di Kampus Bendan ( benar ndak ya...?)
Aku dari arah selatan (Solo) menuju utara (Semarang) dan didepan RSUD Ungaran aku membelokan kekiri sehingga masuk jalan lingkar (tidak lewat kota). Aku mulai gelisah saat melewati alun-alun, dan ada terminal kecil sebelum membelok kekanan kearah Semarang (untuk belok kekiri ke Gunungpati). Dari kejauhan sudah terlihat sebuah bukit kecil bila dibanding Gunung Ungaran dibelakangku, bukit itu bernama "Gunung Suwakul" aku ndak tau kenapa dinamakan Suwakul, mungkin duku ada "wakul" (tempat nasi) tumpah disana. Semakin dekat dengan Suwakul semakin kencang detak jantungku. Muncul rencana dibenakku, aku akan mampir dan akan menengok "tanda jejak" yang pernah aku buat dulu.
Lamunanku hancur beterbangan setelah bunyi klakson keras dari sebuar bus dibelakangku, aku baru saja melamun dan menjalankan motorku terlalu ketengah. Mungkin sopir bus "misuh"......jangkrik... naik motor kok ngalamun sampai ditengah jalan, dasar cah ndeso. Segera aku menepi dan mengurangi laju motor bututku dan kujalankan pelan dan pelan sekali.
Aku kembali gelisah, karena sebagian jalan sudah tak kukenali lagi....aku "pangling". Aku kemudian berhenti disuatu tempat yang kukira dulu jalan masuk ke komplek Suwakul, tapi akutercekat dan terpana seketika, karena benar-benar aku sudah tak mengenali tempat itu lagi. Dulu tempat itu begitu rimbun dengan pohon klengkeng, pohon ace/ rambutan, pohon pisang, pohon randu, yang dibawahnya penuh kenangan (hayooo siapa yang dibawah pohon randu itu......) dan yang jelas ada pohon pepaya jingga yang uahnya besar-besar....duh dimana ya sekarang. Tiba-tiba aku rindu akan suasana Suwakul semasa 20 tahu yang lalu, disana ada asap tipis mengeul yang membawa aroma khas serta suara binatang yang khas pula (nama binatang itu aku ndak tau....)
Aku tak menyalahkan perubahab, bahkan kadang-kadang yang ekstrinpun aku mendukung. Tapi kali ini, ada sebagian hatiku yang terenggut dengan paksa. Begitu masgul hatiku,.....ndak tahu kenapa, yang jelas ada sesuatu yang hilang. Dulu aku dengan banggga menenteng"teodolit pinjaman" untuk praktek TGT, mengukur elevasi, menentukan "azimut", menggambar dengan penerangan petromax di bumi Suwakul. Dulu aku begitu bangga dan gembira bisa praktek bertanam (menanam tomat dan kacang panjang), seumur-umur baru itulah aku bisa memetik hasil pertanian yang aku cangkul, aku pupuk, dan aku rawat sendiri, aku begitu antusias membuat laporan dan menganalisa usahataninya. Tapi sekarang, aku sadar bahwa perubahan harus ada..... tinggal perubahan menuju perbaikan atau perubahan menuju kehancuran. Aku tak berani menilai apakah Suwakul terjadi kemajuan atau kemunduran. Tetapi jika aku melihat gejala sekarang ini, dimana dunia pertanian menangis keras dan berteriak - teriak; panen gagal , lahan rusah, pupuk langka, obat pertanian mahal. Karena aku sadar, aku kuliah dulu dan isa menjadi sekarang ini berkat pertanian, karena keluargaku adalah petani, ......duh nelongso hatiku.
Apakah akan ada kejadian, untuk kita semua benar-benar akan kelaparan gara-gara tak ada padi yang ditanam, tak ada jagung yang tumbuh, tak ada singkok yang dicabut. Bahkan sekedar untuk minum masispun gula harus beli dari negara tetangga.
Bahkan aku tak berani menjawan, jika anakku bertanya; " ...ayah dulu sekolah pertanian ? kok aku makan nasi dari negeri tetangga. ......?".......?"
”Monggo Mas......pinarak....ampun teng njawi....”, aku tersentak kaget dari lamunan setelah seseorang yang sudah cukup tua menyapaku dan ternyata aku telah berhenti didepan rumahnya dan ada warung kecil disampingnya.
”Nggih....pak, matur nuwun” dengan gugup aku menjawab sekenanya.
Aku menuntun motorku memasuki halaman sempit di depan warungnya.
”Kopi hangat bu.....” kataku pada seorang ibu muda di dalam warung setelah pantatku menyentuh bangku. Mungkin umurnya baru 5 tahun saat suwakul masih ramai dulu.
Pak Tua masih menatapku seakan bertanya, orang jauhkan aku ?
Sambil menunggu minuman kopi jadi dibuat, aku bertanya pada Pak Tua, ”Ini dulu Suwakul ya Pak....” sambil kupandang wajah tuanya tapi masih menyisakan ketegaran yang luar biasa disana
”Sekarang ya masih Suwakul, Pak...” sahut sekenanya.
”Bapak dari mana? Sambungnya.
Aku terdiam sebentar karena menerima segelas kopi panas yang disajikan ibu muda tadi, dan sahutnya ”Bapak pernah kesini ya .......?.”
”Ya....pernah, dan saya dari jauh, tapi dulu Suwakul ndak seperti ini” jawabku sambil memandang ke seberang jalan, dan lalu lalang kendaraan seakan tak akan putus.
Kemudian aku bercerita panjang lebar tentang kegiatanku dulu di tahun 85-an dimana Suwakul masih asri, bertanah merah segar (mungkin akan aku ceritakan dalam kisah yang lain).
Tapi kini, telah berdiri sebaris rumah megah, jalan beton semen, dan berjajar mobil didalam kompleks. Aku mengira wah......ini pasti perumahan dosen farming, he...he....pikiranku mulai usil. Tapi Pak Tua seakan tahu pikiranku dan berkata ” Ini perumahan biasa kok Pak, dan sekarang tak ada lagi kegiatan pertanian oleh anak-anak farming seperti 10-20 tahun yang lalu, sekarang ndak seperti dulu.....”
”O..ooooo,.....” sahutku.
Aku segera bangkit dan ku bayar segelas kopi manis-nya, aku pamit setelah mengucapkan terima kasih pada Pak Tua setelah memberiku pesan: ”Pak, mbok anak-anak muda sekarang diajari pertanian lagi, agar yang tua-tua ini segera diganti, gimana mau bertani baik ,la wong nyangkul saja saya sudah ndak begitu kuat dan yang muda ndak ada yang mau, trus anak cucu kita mau makan apa”.
”Nggih pak.....” jawabku agak ketus.
Aku segera melarikan motorku, kencang dan kencang sekali....aku jadi takut ke Suwakul lagi, takut kalau digugat ndak bisa ngajari bertani generasi muda sekarang...Duh piye ki......
Dari tanah Gersang, Medio di ujung tahun 2008
Ku tulis ditengah malam setelah kutengok anak dan istriku yang tidur pulas dan tak tau kegelisahan ayah dan suaminya, besok apa bisa minum rasa manis ndak...?.......?
2 komentar:
di suwakul kau mencari kenangan masa lalu.... dan sekarang kau temui realita masa kini. Tak perlu ada yang diperdebatkan. Tetapi sebagi alumni aku juga merasa ada sesuatu yang hilang..... tapi mudah-mudahan masih ada waktu untuk memperbaiki, bukakah akademi farming masih ada dan masih beraktifitas? tengoklah rencana temen-temen ada 2 program yang akan dijalankan, bergabunglah untuk menghilangkan gundahmu, dan semoga menjawab tantangan pak tua.... tulisanmu bagus dik.
rina_dh@kudus.puragroup.com angk 83
Tulisannya sungguh menyentuh. Panjenengan benar-benar bisa mendeskripsikan suasana Suwakul tercinta 20 tahun yang lalu. Saya angkatan 92, lulus 95. Saya sedih juga melihat kebun praktek kita kini tinggal sejarah. Bekasnyapun tersapu bangunan-bangunan baru. Pak Topo, Pak Slamet, Pak Wardi dan Pak Kasian mungkin sudah tidak di sana. Tetapi semua kenangan belajar di sana tetap tersimpan di ingatan semua alumni yang mencintai didikan baik di sana. Tetap semangat di manapun kita berada, menebar kebaikan, terutama di dunia pertanian hasil pembelajaran di Suwakul.
Salam caping kuning.
Eunike Brahmantyo
Posting Komentar