17 Desember 2008

Cangkul Tua Senjata Pak Tani

Ketika orang sedang sibuk mencari pupuk yang sembunyi, dia seakan tak perduli.

Tetap saja melangkah dengan tenang, membawa setangkai cangkul tua, mungkin setua usianya. Cangkul itu menjadi saksi bisu perjalanan Kakek tua yang telah bercucu tujuh ini. Kakek tua itu tak pernah mengeluh dan “sambat” kepada cangkulnya. Sebilah sabit tajam juga menjadi teman setianya untuk membersihkan cangkulnya dari tanah yang lengket memeluk cangkul.

Mataku mengikuti langkahnya yang tetap tegar di sepanjang pematang memanjang. Sebentar dia memandang lurus ke depan seakan tak ingin ada jalan yang salah untuknya.

“Sawah ini dulu pemberian kakekmu, …..”, Tiba-tiba pak tua sudah duduk disampingku dibawah pohon pisang tepi pematang.

“Tak terlalu luas memang, hanya ‘seprowolon’……” lanjutnya. Aku tak tau harus ngomong apa?

Tiba-tiba, tarikan nafas yang dalam ku dengar darinya.

Sementara matahari semakin tinggi menyapa kehangatan kalbu.

”Dulu, kakekmu menggarap sawah ini untuk menghidupi ayahmu ini bersama delapan bersaudara”, guman pak tua yang tak lain ayahku.

Aku semakin bingung, harus berbuat dan berkata apa.

”Setelah sepeninggal kakekmu, semua saudara ayahmu ini merantau. Dua Bibimu diperistri orang jauh dan dibawa ke jakarta hingga sekarang, serta menjadi buruh pabrik, sedang pamanmu yang lain merantau jauh dan jarang kita bertemu” cerita ayahku seperti mengadu.

Aku mencoba bertanya tapi tak tau mau bertanya apa, aku hanya tertunduk lesu.

Aku tau perjuangan ayahku dulu ketika aku masih sekolah SLTA, saat aku bangun beliau sudah tak kulihat di rumah, hanya emakku yang didapur menanak nasi yang ”pulen” berbau khas segarnya nasi ”umbuk”, biasanya ayahku pagi-pagi sekali sudah ke sawah dan menunggu emakku mengirim ”rantang”. Duh...bahagianya mereka.

Aku semakin larut dalam lamunanku, sementara ayahku sudah bergelut dengan lumpur sahabatnya.

Sementara matahari semakin hangat menyapa wajahku.

Aku menjadi jengah,......ayahku yang tua saja masih turun ke sawah, tak pernah mengeluh apalagi mengumpat. Semua dilakukannya penuh iklas karena ridho-Nya.

Aku semakin malu, ...... (apalagi bila sering mengeluh).

Sementara ayahku yang hanya berteman sebuah cangkul yang dirawatnya sangat baik hingga dapat menghidupi keluarganya serta dapat menguliahkan anak-anaknya hingga selesai (yang diantaranya aku).

Ayahku telah membayar pupuk dengan keringatnya dan merawat tanaman dengan senyum ihklasnya.

Tiba-tiba, ayahku sudah disampingku lagi dan tersenyum penuh arti sambil ucapnya lirih ”.... sebenarnya aku dulu menguliahkan kamu ke semarang agar kembali ke desa ini, membangun desa menyejahterakan keluarga dan lingkungan, hidup tenteram dan damai serta bisa menggantikan aku bertani”.

Dan lanjutnya ”hidup ini.....harus dilakoni dengan perjuangan serta beralaskan doa syukur”.

Pundakku disentuhnya lembut dan katanya ”....ngak usah risau,...biaya kuliah anakmu sudah aku siapkan, hasil panen kemarin aku sisihkan untuk cucuku.....aku bangga, cucuku bisa kuliah dan kudengar cita-citanya ingin kembali ke desa ini.....aku merasa bahagia ........”

Aku terdiam, terdiam dan membisu.

”.......................”

Aku semakin bingung, bingung sekali....

Sebenarnya aku ingin mengatakan pada ayahku ”Jual saja sawah ini ayah!, dan uangnya aku pakai membeli mobil baru”.

”Astoqfirullah.............” bathinku terhempas dijurang yang paling dalam.

Duh,.......nistanya aku.

Aku segera bangkit dan menuntun ayahku pulang, aku segera mohon ampun pada Tuhanku dan berjanji menggantikan kerentaan ayahku untuk bersahabat dengan cangkul tuanya.

Ku tulis saat kutengok ayah ku yang masih sehat segar bugar diusia 70 tahun, Alhamdulillah.

Ditulis: Cah nDeso turune nduwur kloso. (16 Desember 2008)

Ganjar Pwdd.

4 komentar:

Anonim mengatakan...

sregep men, ngenet terus ya...
bagus koq biar temen2 jg pd tertarik

jokset mengatakan...

Salut Buat Mas Ganjar..... ditengah-tengah kesibukannya.. masih sempat juga "menulis"... maju terus mas ganjar....aku tunggu tulisanmu..biar "kelingan" karo Farming...sedikit bernostalgia...he..he..

Anonim mengatakan...

ya....masih atas tanggapannya, semoga tidak pada bosan aja. Trus yang mana?
Ayo dik Joko, dik Adi, dan yang lainnya kita ramaikan blog kita biar dik "admin" sibuk terus.....

Ganjar Pwdd (kuganjar@yahoo.com)

Anonim mengatakan...

trima kasih atas tanggapannya...dan
kita tunggu yang lainnya, biar ndak bosan gitu. setiap buka ada yang baru kan asyik, ...ya sak "uni-unine" to... pokok-e nulis rak uwis, syukur di maut sama mas "admin" ....

Ganjar Pwdd